Minggu, 19 April 2015

Hak Cipta dan Hak Paten (Tulisan 2)

A.      Hak Cipta
Hak cipta adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas. Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau "ciptaan". Ciptaan tersebut dapat mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya, film, karya-karya koreografis (tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak komputer, siaran radio dan televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain industri. Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya (Ajie, 2010).
Penanda hak cipta di dalam yuridiksi tertentu, agar suatu ciptaan seperti buku atau film mendapatkan hak cipta pada saat diciptakan, ciptaan tersebut harus memuat suatu pemberitahuan hak cipta. Pemberitahuan atau pesan tersbut terdiri atas sebuah huruf c di dalam lingkaran atau © atau kata copyright, yang diikuti dengan tahun hak cipta dan nama pemegang hak cipta. Jika ciptaan tersebut telah dimodifikasi dan hak ciptanya didaftarkan ulang, akan tertulis beberapa angka tahun. Bentuk pesan lain diperbolehkan bagi jenis ciptaan tertentu. Pemberitahuan hak cipta tersebut bertujuan untuk memberi tahu calon pengguna ciptaan bahwa ciptaan tersebut berhak cipta (Ajie, 2010).

B.       Sejarah Hak Cipta di Indonesia
             Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa harus membayar royalti. Pada tahun 1982,  Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997, dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang kini berlaku (Wikipedia).
Perubahan undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran Indonesia dalam pergaulan antarnegara. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO), yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Propertyrights - TRIPs ("Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty ("Perjanjian Hak Cipta WIPO") melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997 (Wikipedia).

C.      Jangka Waktu Perlindungan Hak Cipta
Hak cipta berlaku dalam jangka waktu tertentu berbeda-beda dalam yuridiksi yang berbeda untuk jenis ciptaan yang berbeda. Masa berlaku tersebut juga dapat bergantung pada apakah ciptaan tersebut diterbitkan atau tidak diterbitkan. Misalnya di amerika serikat, masa berlaku hak cipta semua buku dan ciptaan lain yang diterbitkan sebelum tahun 1923 telah kadaluarsa. Kebanyakan negara di dunia, jangka waktu berlakunya hak cipta biasanya sepanjang hidup penciptanya ditambah 50 tahun atau sepanjang hidup penciptanya ditambah 70 tahun. Secara umum, hak cipta tepat mulai habis masa berlakunya pada akhir tahun bersangkutan, dan bukan pada tanggal meninggalnya pencipta (Ajie, 2010).
Di Indonesia, jangka waktu perlindungan hak cipta secara umum adalah sepanjang hidup penciptanya ditambah 50 tahun atau 50 tahun setelah pertama kali diumumkan atau dipublikasikan atau dibuat, kecuali 20 tahun setelah pertama kali disiarkan untuk karya siaran, atau tanpa batas waktu untuk hak moral pencantuman nama pencipta pada ciptaan dan untuk hak cipta yang dipegang oleh negara atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama (berdasarkan UU No. 19 Tahun 2002 bab III pasal 50) (Ajie, 2010).

D.      Hak Paten
Istilah paten berasal dari bahasa Inggris “Patent” yang bersumber dari bahasa latin patere yang berarti membuka diri untuk pemeriksaan atau diketahui pihak lain. Istilah ini mulai populer sejak munculnya letters of patent yaitu surat keputusan kerajaan yang memberikan hak eksklusif kepada individu dan pelaku bisnis tertentu. Pada tahun 1623, Raja James I memberlakukan Statue of Monopolies yang mengatur pemberian paten hanya kepada temuan-temuan baru yang dimaksudkan untuk mendorong inventor agar mau membuka temua atau pengetahuannya demi kemajuan masyarakat (Medyawati, 2010).
Paten pertama di Amerika Serikat diberikan pada tanggal 30 Juli 1790 atas penemuan metode produksi garam abu. Hak propritas merupakan hak pemohon untuk mengajukan permohonan untuk negara lain yang tergabung dalam Paris Convention for Protection for Industrial Property (Paris Convention) atau Agreement Establising World Trade Organization (WTO Agreement) (Medyawati, 2010).

E.       Kegunaan Paten
Menurut Munandar dan Sitanggang (2008), ada empat alasan mengapa sistem paten diciptakan. Empat alasan tersebut, antara lain (Medyawati, 2010):
a.         Untuk mengadakan penciptaan itu sendiri.
b.        Untuk menyebarluaskan penemuan yang telah diperoleh.
c.         Untuk menginvestasikan sumber daya yang diperlukan guna melakukan eksperimen, produksi dan pemasaran atas penemuan yang ada.
d.        Untuk mengembangkan dan menyempurnakan penemuan-penemuan pendahulu.
Paten merupakan pendorong bagi dilakukannya berbagai kegiatan riset dan pengembangan secara efisien dengan cara mendorong berbagai perusahaan menyediakan anggaran besar untuk penelitian, riset serta pengembangan suatu produk. Paten sering kali dikritik sebgaia alat kaum kapitalis dengan memanfaatkan posisi dominannya, karena mereka dapat membayar untuk memanfaatkan suatu penemuan. Jika perlindungan hukum mengenai paten tidak diterapkan dengan baik, orang yang berbakat di bidang teknologi dan komputer akan pindah ke negara lain yang lebih menghargai karyanya (Medyawati, 2010).

F.       Contoh Kasus Hak Cipta
Contoh pelanggaran Hak Cipta yaitu adanya pelanggaran Hak Cipta yang dilakukan oleh negara Malaysia. Setelah gagal mengklaim lagu Rasa Sayange, Malaysia mencoba mengklaim kesenian yang lain yaitu kesenian rakyat Jawa Timur: Reog Ponorogo yang diklaim Malaysia sebagai kesenian mereka. Kesenian Wayang Kulit yang mereka klaim tidak mengubah nama “Reog”, mungkin karena diikuti nama daerah Ponorogo maka namanya diubah menjadi “Tarian Barongan”. Padahal wujud Reog itu bukan naga seperti Barongsai tapi wujud harimau dan burung merak yang sama seperti Reog Ponorogo. Malaysia kesulitan mencari nama baru sehingga memilih yang mudah saja, yaitu Tarian Barongan. Bukan itu saja, kisah dibalik tarian itupun diubah. Hal ini sama seperti ketika
Malaysia mengubah lirik lagu Rasa Sayange. Kalau saja mereka menyertakan informasi dari mana asal tarian tersebut maka tidak akan ada yang protes. Padahal apa susahnya mencantumkan nama asli dan bangsa pemiliknya. Seperti yang mereka lakukan pada kesenian Kuda Kepang yang kalau di Indonesia lebih dikenal dengan nama Kuda Lumping. Malaysia mencantumkan nama asal kesenian Kuda Kepang dari Jawa. Kenapa tidak dilakukan pada kesenian yang lain seperti Reog Ponorogo, Wayang Kulit, Batik, Angklung, Rendang dan lain-lain. Malaysia telah melanggar Hak Cipta yaitu menggunakan budaya asli Indonesia dengan mengganti nama, cerita, namun kebudayaan tersebut sesungguhnya berasal dari Indonesia. Pelanggaran Hak Cipta yang telah dilakukan oleh Negara Malaysia dapat dikenakan tindak pidana ataupun perdata. Sebenarnya, hal ini dapat dicegah jika Malaysia mencantumkan nama asli dan bangsa pemilik dari kebudayaan yang dipertunjukkan (Lestari, 2012).

G.      Contoh Kasus Hak Paten
Produsen raksasa mobil Korea Selatan itu melalui produknya Hyundai Sonata dan Kia Optima dituding telah menggunakan teknologi hibrida serupa dan gugutan sudah diajukan Kamis (16/2/2012) di pengadilan federal Baltimore. Paice terus berusaha menjegal Hyundai dan KIA untuk tidak memproduksi hibrida kecuali mau diselesaikan dengan jalan membayar lisensi tersebut. Dalam keterangan yang dikutip caradvice hari ini (20/2/2012) menyebutkan, "Di awal 2004 kami telah menghubungi Hyundai untuk mendiskusikan dan menawarkan teknologi hybrid ini." Karena tidak ada kelanjutan kerjasama namun secara tiba - tiba teknologi tersebut muncul di salah satu produknya, Paice menganggap pengadilan adalah solusinya. Sebelumnya, Paice  pernah menuntut Toyota pada 2010 karena juga memakai sistem hibrida yang sudah dipatenkan sejak 1994. Setelah berjibaku selama setahun, akhirnya kedua perusahaan menyelesaikan kemelut tersebut di luar pengadilan, dan Toyota pun terus memproduksi kendaraan hybrid.  Ford pun sempat bersitegang, namun tidak sampai ke meja hijau karena menyetujui penggunaan lisensi teknologi Paice.
Menurut saya seharusnya sengketa pelanggaran teknologi hybrid yang di langgaar oleh perusahaan mobil KIA dan HYUNDAI ini ditangani oleh pengadilan kemudian pengadilan memutuskan hukumannya sesuai dengan UU nomor 14 tahun 2001 pasal 131-135 yang berupa hukuman penjara selama 4 tahun dan denda maksimal 500 juta atau produksi mobil dihentikan. Studi kasus yang diambil kelompok 3 sangatlah menarik karena pada jaman ini teknologi berkembang sangat pesat dan ada juga pelanggaran-pelanggaran yang dibuat. Semoga kedepannya tidak terjadi pelanggaran hak paten khususnya bidang industri, dan sebaiknya pencipta suatu teknologi wajib mematenkan hasil karyanya agar tidak terjadi permasalahan yang menyebabkan merugi dan menurunkan image dari perusahaan yang bersangkutan (Kompas, 2012).


DAFTAR PUSTAKA


Ajie, Miyarso Dwi. 2010. Hak Cipta (Copyright). Konsep Dasar dan Fenomena yang Melatarbelakanginya. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Lestari. 2012. Contoh Kasus Hak Cipta. Jakarta.
Medyawati, Dr. Henny. 2010. Paten. Yogyakarta: New Merah Putih.
https://id.wikipedia.org/wiki/Hak_cipta
http://otomotif.kompas.com/read/2012/02/20/972/Hyundai.dan.KIA.Dituntut.Kasus.Hybrid


Tidak ada komentar:

Posting Komentar